Baru-baru ini, pemerintah Indonesia berencana untuk melakukan pemutihan sawit ilegal di berbagai lahan. Hal ini merupakan bagian dari upaya melegalkan jutaan hektar lahan kelapa sawit yang selama ini diduga berada di kawasan hutan.
Langkah ini paling lambat akan diimplementasikan pada tanggal 2 November 2023 mendatang. Ini didasari oleh pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja (Ciptaker) No 110A dan 110B yang mengatur terkait izin berusaha di kawasan hutan serta sanksi pelanggarannya.
Secara lebih rinci, tindakan tersebut dilakukan pemerintah melalui Tim Satuan Tugas (Satgas). Tepatnya yaitu Satgas khusus Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.
Tujuan Pemutihan Sawit Ilegal oleh Pemerintah dan Prediksi Dampaknya
Pada dasarnya, tujuan utama pemerintah melakukan pemutihan lahan ilegal tersebut adalah memperbaiki tata kelola industri sawit yang sebelumnya dianggap tidak teratur. Dengan pemutihan, status luas perkebunan sawitnya akan menjadi lebih jelas.
Termasuk yang dimiliki oleh perusahaan, koperasi, maupun masyarakat, sehingga mereka akan menjadi patuh terhadap hukum serta kewajiban pajak. Namun sebagaimana kebijakan pemerintah lainnya, rencana tersebut juga mengundang berbagi pendapat kontra.
Ketua Umum Perhepi (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia) Bustanul Arifin memandang adanya kerancuan dalam penetapan kawasan hutan yang mencakup lahan sawit. Sehingga, bisa berdampak juga ke tindakan pemutihan sawit ilegal ini.
Menurutnya, proses perizinan yang ambigu telah menimbulkan polemik di kalangan pelaku usaha. Secara lebih lanjut, dampak atau implikasi dari legalisasi 3,3 juta hektar lahan yang ada di hutan telah menarik perhatian banyak pihak. Berikut ini beberapa prediksi dampaknya:
1. Berdampak pada Keberlanjutan Industri Sawit Indonesia
Salah satu isu utama di tingkat global adalah bagaimana sawitnya akan dikelola secara berkelanjutan. Itu sebabnya, langkah pemerintah untuk melakukan pemutihan sawit ilegal yang sebelumnya dikenal sebagai penyebab deforestasi ini menimbulkan pertanyaan kritis.
Dalam konteks ini, langkah politik dan regulasi hendak mengubah status lahan tersebut menjadi legal. Jika dilakukan tanpa mengubah sifat lahan tersebut sebagai bukan lahan hutan, maka ini bisa memengaruhi citra Indonesia di mata komunitas global.
Apalagi, komunitas sawit global dikenal sangat mengutamakan prinsip keberlanjutan. Sejauh ini, sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) telah digunakan sebagai alat untuk menilai keberlanjutan dalam industri sawit Indonesia secara global.
Namun, citra ISPO dianggap lebih fokus pada aspek ekonomi daripada aspek keberlanjutan lainnya, seperti pelestarian hutan. Ini membuat komunitas global, terutama Uni Eropa dan AS, khawatir bahwa ISPO tidak mampu mencegah masalah lainnya
Termasuk perluasan perkebunan kelapa sawit ke area-area kategori kritis, seperti hutan gambut atau kawasan hutan primer. Jika dibiarkan, ini akan berkontribusi pada degradasi lingkungan dan hilangnya habitat bagi flora dan fauna.
2. Berdampak pada Komunitas Lokal dan Industri Sawit
Tindakan pemutihan sawit ilegal juga dianggap akan mempengaruhi komunitas lokal yang tinggal di sekitar lahan ilegal tersebut. Apalagi, sebagian komunitas ini telah bergantung pada lahan tersebut untuk mata pencaharian mereka.
Jadi, tindakan legalisasi ini berpotensi mengganggu mata pencaharian mereka sekaligus memunculkan masalah sosial lain. Apalagi, sebagian besar lahan yang hendak diputihkan berada di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), sehingga risiko kebakaran akan meningkat.
Lebih lanjut, tindakan tersebut juga dapat ikut berdampak pada industri sawit secara keseluruhan. Meskipun pemutihan adalah upaya untuk meningkatkan tata kelola industri, namun sejumlah besar perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan berisiko terdampak.
Itu sebabnya, kebijakan ini turut mengundang perhatian terhadap peran lembaga jasa keuangan dalam mendukung perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan hutan. Sejumlah bank dan lembaga keuangan bahkan memberikan pembiayaan kepada banyak perusahaan.
10 Besar Perusahaan yang Terkena Pemutihan Sawit Ilegal
Sejauh ini, sudah ada beberapa perusahaan yang termasuk ke daftar pemutihan oleh pemerintah. Namun setidaknya, ada 10 perusahaan atau grup sawit besar Indonesia yang juga termasuk ke dalam daftar tersebut.
Di antaranya meliputi Sinar Mas, Wilmar, Citra Borneo Indah, Musim Mas, Goodhope, Genting, Perkebunan Nusantara, Bumitama, Sime Darby, serta Rajawali/Eagle High. Ternyata, sebagian besar perusahaan yang terlibat tersebut adalah anggota RSPO.
RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) sendiri merupakan salah satu jenis sertifikasi keberlanjutan di bidang kelapa sawit. Hal ini tentunya semakin menambah keraguan terhadap sertifikasi RSPO yang dianggap tidak kredibel dalam menjamin keberlanjutan.
Sehingga meskipun tujuan awal pemerintah baik, namun masih banyak pihak yang skeptis. Oleh karena itu menjelang implementasinya pada 2 November mendatang, diharapkan pemutihan sawit ilegal ini bisa tetap memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.