philosophys.technology – Keyakinan dan nilai-nilai yang menentukan suatu generasi dibentuk oleh berbagai faktor, termasuk budaya, pendidikan, dan pengalaman pribadi. Dalam beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan yang berkembang di kalangan anak muda ke arah ateisme atau kepercayaan non-agama. Artikel ini mengeksplorasi beberapa alasan mengapa pergeseran ini terjadi.
1. Peningkatan Akses Informasi
A. Internet
Internet telah menyediakan akses informasi yang belum pernah ada sebelumnya. Kaum muda dapat menjelajahi berbagai filosofi, kepercayaan, dan penjelasan ilmiah, yang sering membuat mereka mempertanyakan narasi agama tradisional.
B. Pendidikan
Penekanan yang meningkat pada sains dan pemikiran kritis dalam sistem pendidikan mungkin berkontribusi pada sikap skeptis terhadap klaim agama. Banyak anak muda dihadapkan pada metode dan alasan ilmiah sejak usia dini.
2. Pergeseran Sosial dan Budaya
A. Sekularisasi
Masyarakat Barat, khususnya, telah melihat pergeseran umum ke arah sekularisme. Ini telah membuat pandangan non-agama lebih dapat diterima dan menjadi arus utama.
B. Keberagaman
Hidup dalam masyarakat multikultural, kaum muda sering bertemu dengan teman sebaya dengan keyakinan dan pandangan dunia yang berbeda. Hal ini dapat menumbuhkan sikap toleransi dan kesadaran bahwa kebenaran agama bisa saja subjektif.
3. Otonomi Pribadi dan Individualisme
A. Otonomi dalam Pembentukan Keyakinan
Anak muda saat ini sering berusaha untuk menempa jalan mereka sendiri, termasuk dalam keyakinan spiritual mereka. Penekanan pada otonomi pribadi dan penemuan diri dapat membuat mereka mempertanyakan tradisi agama yang diwariskan.
B. Penolakan Otoritas Kelembagaan
Ketidakpercayaan pada otoritas institusional, termasuk organisasi keagamaan, telah diamati di kalangan anak muda. Ini mungkin merupakan reaksi terhadap anggapan kemunafikan, skandal, atau dogma yang kaku.
4. Pengaruh Role Model dan Teman Sebaya
A. Pengaruh selebriti
Tokoh terkemuka di bidang hiburan dan bidang lain yang secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai ateis atau agnostik dapat berdampak signifikan pada pengikut muda.
B. Tekanan teman sebaya
Keyakinan teman dan kelompok sebaya adalah pengaruh yang kuat. Jika ateisme atau agnostisisme lazim dalam lingkaran sosial, orang lain mungkin mengadopsi pandangan serupa.
5. Isu Politik dan Sosial
A. Keselarasan dengan Nilai Progresif
Beberapa anak muda melihat ateisme selaras dengan kemajuan sosial, hak asasi manusia, dan kesetaraan, menjauhkan diri dari pendirian agama yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai ini.
B. Reaksi terhadap Ekstremisme Agama
Maraknya ekstremisme agama di berbagai belahan dunia juga dapat berkontribusi pada penolakan keyakinan agama di kalangan anak muda. Kecenderungan ateisme di kalangan anak muda merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, tren pendidikan, perubahan sosial dan budaya, individualisme, dan pertimbangan politik. Memahami faktor-faktor ini sangat penting bagi organisasi keagamaan, pendidik, dan pembuat kebijakan yang ingin terlibat dengan generasi muda. Mungkin juga penting bagi orang tua dan pembimbing dalam membimbing remaja melalui perjalanan rohani mereka. Sementara peningkatan ateisme mencerminkan pergeseran yang lebih luas dalam masyarakat, hal itu tidak serta merta menandakan penurunan spiritualitas atau nilai-nilai moral. Banyak ateis muda mengadopsi kerangka etika dan mencari tujuan dan makna di luar konteks agama tradisional.
Kecenderungan menuju ateisme ini menghadirkan tantangan dan peluang untuk dialog, pemahaman, dan pertumbuhan lintas sistem kepercayaan dan latar belakang budaya yang berbeda. Ini mencerminkan lanskap iman, akal, dan identitas yang berkembang secara dinamis di abad ke-21. Statistik spesifik tentang jumlah anak muda yang mengidentifikasi sebagai ateis dapat sangat bervariasi menurut wilayah, negara, dan definisi “kaum muda”. Sulit untuk memberikan angka global yang tepat tanpa menentukan parameter ini. Namun, berbagai penelitian dan survei menunjukkan peningkatan identifikasi non-agama di kalangan anak muda di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang lebih maju dan sekuler. Misalnya,
di Amerika Serikat, sebuah studi Pew Research Center dari 2018-2019 menemukan bahwa di antara orang dewasa di bawah usia 30 tahun, sekitar 40% diidentifikasi sebagai tidak beragama, termasuk ateis, agnostik, dan mereka yang mengklaim “tidak ada yang khusus”. Di Inggris, survei British Social Attitudes menemukan bahwa 52% populasi menyatakan tidak beragama pada tahun 2018, dan angka ini lebih tinggi di antara kelompok usia yang lebih muda.
Apakah ada perubahan sikap terhadap mereka ketika mereka tidak beragama?
Sikap terhadap individu yang mengaku tidak beragama, termasuk ateis dan agnostik, dapat sangat bervariasi tergantung pada konteks budaya, sosial, dan individu. Berikut ini ikhtisar beberapa tren dan variasi umum
1. Masyarakat Barat dan Sekuler
Di banyak negara Barat, khususnya yang memiliki tradisi sekuler yang kuat, umumnya terdapat penerimaan yang lebih besar terhadap identitas non-agama. Pergeseran ke arah sekularisme dalam masyarakat ini seringkali disertai dengan penerimaan sosial yang lebih luas terhadap berbagai keyakinan, termasuk ateisme.
2. Komunitas Adat atau Religius
Sebaliknya, dalam masyarakat atau komunitas di mana agama memainkan peran sentral dalam kehidupan sosial dan budaya, mereka yang mengidentifikasi diri sebagai non-religius mungkin menghadapi lebih banyak tantangan. Ini dapat mencakup stigma sosial, kesalahpahaman, atau bahkan diskriminasi. Tingkat penerimaan dapat sangat bervariasi bahkan di dalam satu negara, tergantung pada faktor-faktor seperti pengaturan perkotaan vs. pedesaan atau komunitas agama tertentu yang bersangkutan.