Kehadiran fenomenologi dalam studi agama membantu Anda mempelajari atau memahami gejala keberagaman. Tentu dilakukan apa adanya karena membiarkan manifestasi agama berbicara sendiri. Sebenarnya telah ada sejak abad ke-10.
Salah satu yang mempengaruhinya yakni karena filsafat yang dikembangkan oleh Edmund Husserl. Fenomenologi lahir dan kemudian penerapannya sebagai media penelitian ilmiah. Kemudian dilawankan terhadap pendekatan bersifat teologis.
Fenomenologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang dapat diartikan sebagai ilmu tentang gejala-gejala. Sebenarnya istilah tersebut digunakan J.H. Lambert (1728-1797) yang merupakan ahli filsafat dan matematika terkenal.
Selanjutnya fenomenologi dalam studi agama digunakan istilahnya oleh Piere David Chantepia de la Saussaye. Menurut Piere, manfaatnya penting karena dapat menjadi penyusun. Khususnya untuk sistemasi gejala keadaan yang objektif.
Faktanya dapat menjadi reaksi ilmu perbandingan yang dipengaruhi ide evolusionisme Darwin. Ternyata banyak ahli dan filsafat memaparkan ide atau gagasannya sendiri. Terutama berdasarkan tujuan hingga penerapan yang benar.
Mengenal Pengertian Fenomenologi dalam Studi Agama
Fenomenologi adalah penyelidikan kritis tentang hubungan yang lepas dari pertimbangan. Hal ini dihubungkan dengan sesuatu yang lepas karena pengalaman. Pernyataan ini menjadi ciri khas manusia yakni pengalaman atau emiri.
Ada dua karakter berbeda untuk fenomenologi dalam studi agama. Pertama yakni berupa metode pemahaman agama orang lain pada perspektif netralitas. Kemudian memanfaatkan preferensi dari orang yang bersangkutan.
Tujuannya yakni untuk melakukan rekonstruksi berdasarkan pengalaman dari orang lain. Sementara itu aspek keduanya yakni berupa pendekatan dengan rekonstruksi rancangan taksonomi. Manfaatnya untuk klasifikasi fenomena dalam masyarakat.
Hubungan antara agama hingga budaya tidak dapat terlepaskan dalam metode fenomenologi. Menurut, Gerrardus Van der Leeuw, terdapat 7 fase metode fenomenologi yang perlu diikuti. Tentu telah banyak disetujui banyak orang.
Salah satu poin dalam metode tersebut yakni gejala yang muncul disebut sebagai fase klasifikasi. Kemudian akan menguatkan gejala ini dalam kehidupan. Apalagi menjadi tanda dengan arti pasti sehingga harus menginterpretasikan.
Sifat tertinggi fenomenologi dalam studi agama disebut epoche. Istilah tersebut yakni penyingkiran setiap pertimbangan nilai normatif. Tapi hanya dilakukan sementara karena menemukan pendapat penghalang pengetahuan esensi.
Pada ahlinya Anda menemukan penjelasan atau pemeriksaan menggunakan sinar gejala. Ahli fenomenologi menjadi pihak yang mencari esensi gejalanya. Termasuk untuk menemukan tipe ideal berdasarkan hubungan setiap struktur.
Anda umumnya juga akan menemukan fase Das Verstehen yakni untuk pemahaman atau pengertian. Ahli fenomenologi ikut serta mengadakan koreksi terhadap penelitian. Lalu memberi kesaksian terhadap hasil penelitian tersebut.
Berdasarkan fase tersebut, dibuktikan menemukan gejala dari hasil penelitian tidak sembarangan. Apalagi dibutuhkan langkah dan kesaksian ahli mumpuni. Kemudian hasil penelitian dapat digunakan dengan baik.
Tujuan dan Contoh Pendekatan Fenomenologi Agama
Untuk tujuan tertinggi dari fenomenologi dalam studi agama yakni demi menemukan esensi dan intisari. Artinya bukan hanya menemukan kekuatan tapi juga kelemahannya. Selain itu tidak lagi diterima sebagai prinsip metodologi.
Melainkan sebaliknya sesuai syarat yang dipahami menggunakan kombinasi baik cara intersubjektif atau interkomunikabel. Nantinya pengalaman keagamaan tidak memenuhi syarat tahkik hingga pemalsuan atau falsifikasi di dalamnya.
Apabila menganggapnya sebagai ilmu yang harus dilaksanakan, menurut Herman L. Beck harus ditolak. Berdasarkan ide atau gagasan ahli sebenarnya dapat terpusatkan perhatiannya. Khususnya karena terfokus pada pencarian esensi.
Selain itu harus memenuhi makna atau struktur fundamental pengalaman keberagaman manusia. Nantinya ada esensi irredecible sehingga menjadi struktur fundamental. Pendekatan ini menjadi upaya melahirkan disiplin sendiri.
Pada dasarnya fenomenologi dalam studi agama sifatnya obyektif. Selain itu disertai juga metodologi sendiri sehingga menggabungkan antara obyektif maupun subyektif. Jika terdapat dalam pengkaji agama tentu dapat digunakan.
Sementara itu untuk contoh pendekatan yang dapat Anda temukan yakni banyak terjadi di Indonesia. Contohnya penyelenggaraan acara tahlilan sebagai acara doa bersama. Tentu kebanyakan diadakan pada rumah orang meninggal dunia.
Contoh lainnya yakni melakukan ziarah untuk berkunjung menuju makan atau kuburan. Jika melihat dari tradisi, contohnya yakni sekatenan hingga grebeg mulud. Berdasarkan contoh, menjadi metode berpikir yang terbilang progresif.
Apalagi terdapat usaha mengembalikan hal hakiki yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Kemudian mempertahankan dalam modernitas karena sisi pra-reflektif. Wajar fenomenologi dalam studi agama digunakan diseluruh dunia.